60 Sahabat Nabi: Utsman bin Mazh'un, Yang Pernah Mengabaikan Kesenangan Hidup Duniawi

April 30, 2014

Seandainya anda hendak bermaksud menyusun daftar nama shahabat Rasulullah saw. menurut urutan masa masuknya ke dalam Agama Islam, maka pada urutan keempat belas tentulah anda akan tempatkan Utsman bin Mazh’un ….
Anda ketahui pula bahwa Utsman bin Mazh’un ini seorang muhajirin yang mula pertama wafat di Madinah, sebagaimana ia adalah orang Islam pertama yang dimakamkan di Baqi’ .. .

Dan akhirnva ketahuilah bahwa shahabat mulia yang sedang anda tela’ah riwayat hidupnya sekarang ini, adalah seorang suci yang agung tapi bukan dari kalangan yang suka memencil­an diri, ia seorang suci yang terjun di arena kehidupan …. ! dan kesuciannya itu berupa amal yang tidak henti-hentinya dalam menempuh jalan kebenaran, serta ketekunannya yang pantang menyerah dalam mencapai kemashlahatan dan ke­baikan.

Tatkala Agama Islam cahayanya mulai menyinar dari kalbu Rasulullah saw. dan dari ucapan-ucapan yang disampaikannya di beberapa majlis, baik secara diam-diam maupun terang-terang­, maka Utsman bin Mazh’un adalah salah seorang dari bebe­rapa gelintir manusia yang segera menerima panggilan Ilahi dan menggabungkan diri ke dalam kelompok pengikut Rasul­ullah . . . . Dan ia ditempa oleh berbagai derita dan siksa, sebagai­mana dialami oleh orang-orang Mu’min lainnya, dari golongan berhati tabah dan shabar . .  .

Ketika Rasulullah saw. mengutamakan keselamatan golongan kecil dari orang-orang beriman dan teraniaya ini, dengan jalan menyuruh mereka berhijrah ke Habsyi, dan beliau siap meng­hadapi bahaya seorang diri, maka Utsman bin Mazh’un terpilih sebagai pemimpin rombongan pertama dari muhajirin ini. Dengan membawa puteranya yang bernama Saib, dihadapkannya muka dan dilangkahkannya kaki ke suatu negeri yang jauh, meng­hindar dari tiap daya musuh Allah Abu Jahal, dan kebuasan orang Quraisy serta kekejaman siksa mereka ….

Dan sebagaimana muhajirin ke Habsyi lainnya pada kedua hijrah tersebut, yakni yang pertama dan yang kedua, maka tekad dan kemauan Utsman untuk berpegang teguh pada Agama Islam kian bertambah besar.
Memang, kedua hijrah ke Habsyi itu telah menampilkan corak perjuangan tersendiri yang mantap dalam sejarah ummat Islam. Orang-orang yang beriman dan mengakui kebenaran Rasulullah saw. serta mengikuti Nur Ilahi yang diturunkan kepada beliau, telah merasa muak terhadap pemujaan berhala dengan segala kesesatan dan kebodohannya. Dalam diri mereka masing-masing telah tertanam fitrah yang benar yang tidak bersedia lagi menyembah patung-patung yang dipahat dari batu atau dibentuk dari tanah liat.

Dan ketika mereka berada di Habsyi, di sana mereka meng­hadapi suatu agama yang teratur dan tersebar luas, mempunyai gereja-gereja, rahib-rahib serta pendeta-pendeta. Serta agama itu jauh dari agama berhala yang telah mereka kenal di negeri mereka, begitu juga cara penyembahan patung-patung dengan bentuknya yang tidak asing lagi serta dengan upacara-upacara ibadat yang biasa mereka saksikan di kampung halaman mereka. Dan tentulah pula orang-orang gereja di negeri Habsyi itu telah , berusaha sekuat daya untuk menarik orang-orang muhajirin ke dalam agama mereka, dan meyakinkan kebenaran agama Masehi.

Tetapi semua yang kita sebutkan tadi mendorong Kaum Muhajirin berketetapan hati dan tidak beranjak dari kecintaan mereka yang mendalam terhadap Islam dan terhadap Muhammad ,Rasulullah saw     Dengan hati rindu dan gelisah mereka menunggu suatu saat yang telah dekat, untuk dapat pulang ke kampung halaman tercinta, untuk ber’ibadat kepada Allah yang Maha Esa dan berdiri di belakang Nabi Besar, baik dalam mesjid di waktu damai, maupun di medan tempur di saat memper­tahankan diri dari ancaman kaum musyrikin ….

Demikianlah Kaum Muhajirin tinggal di Habsyi dalam ke­adaan aman dan tenteram, termasuk di antaranya Utsman bin Mazh’un yang dalam perantauannya itu tidak dapat melupakan rencana-rencana jahat saudara sepupunya Umayah bin Khalaf dan bencana siksa yang ditimpakan atas dirinya.
Maka dihiburlah dirinya dengan menggubah sya’ir yang berisikan sindiran dan peringatan terhadap saudaranya itu, katanya: . .
“Kamu melengkapi panah dengan bulu-bulunya 
Kamu runcing ia setajam-tajamnya
Kamu perangi orang-orang yang suci lagi mulia
Kamu celakakan orang-orang yang berwibawa
Ingatlah nanti saat bahaya datang menimpa
Perbuatanmu akan mendapat balasan dari rakyat jelata

Dan tatkala orang-orang muhajirin di tempat mereka hijrah itu beribadat kepada Allah dengan tekun serta mempelajari ayat-ayat al-Quran yang ada pada mereka, dan walaupun dalam perantauan tapi memiliki jiwa yang hidup dan bergejolak . . . , tiba-tiba sampailah berita kepada mereka bahwa orang-orang Quraisy telah menganut Islam, dan mengikuti Rasulullah ber­sujud kepada Allah.

Maka bangkitlah orang-orang muhajirin mengemasi barang­-barang mereka, dan bagaikan terbang mereka berangkat ke Mekah, dibawa oleh kerinduan dan didorong cinta pada kampung halaman. . Tetapi baru saja mereka sampai di dekat kota, ter­nyatalah berita tentang masuk Islamnya orang-orang Quraisy itu hanyalah dusta belaka. Ketika itu mereka merasa amat terpukul karena telah berlaku ceroboh dan tergesa-gesa. Tetapi betapa mereka akan kembali, padahal kota Mekah telah berada di hadapan mereka … ?
Dalam pada itu orang-orang musyrik di kota Mekah telah mendengar datangnya buronan yang telah lama mereka kejar­-kejar dan pasang perangkap untuk menangkapnya. Dan sekarang . . . datanglah sudah saat mereka, dan nasib telah membawa mereka ke tempat ini!

Perlindungan, ketika itu merupakan suatu tradisi di antara tradisi-tradisi Arab yang memiliki kekudusan dan dihormati. Sekiranya ada seorang yang lemah yang beruntung masuk dalam perlindungan salah seorang pemuka Quraisy, maka ia akan berada dalam suatu pertahanan yang kokoh, hingga darahnya tak boleh ditumpahkan dan keamanan dirinya dan perlu di­khawatirkan.

Sebenarnya orang-orang yang mencari perlindungan itu tidaklah sama kemampuan mereka untuk mendapatkannya. Itulah sebabnya hanya sebagian kecil saja yang berhasil, ter­masuk di antaranya Utsman bin Mazh’un yang berada dalam perlindungan Walid bin Mughirah. Ia masuk ke dalam kota Mekah dalam keadaan aman dan tenteram, dan menyeberangi jalan serta gang-gangnya, menghadiri tempat-tempat pertemuan tanpa khawatir akan kedhaliman dan marabahaya.

Tetapi Ibnu Mazh’un, laki-laki yang ditempa al-Quran dan dididik oleh Muhammad saw inii memperhatikan keadaan se­kelilingnya. Dilihatnya saudara-saudara sesama Muslimin, yakni golongan faqir miskin dan orang-orang yang tidak berdaya, tiada mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan orang yang sedia melindungi mereka ….
Dilihatnya mereka diterkam bahaya dari segala jurusan, dikejar kedhaliman dari setiap jalan. Sementara ia sendiri aman tenteram, terhindar dari gangguan bangsanya. Maka ruhnya yang biasa bebas itu berontak, dan perasaannya yang mulai bergejolak, dan menyesallah ia atas tindakan yang telah di­ambilnya.

Utsman keluar dari rumahnya dengan niat yang bulat dan tekad yang pasti hendak menanggalkan perlindungan yang dipikul Walid. Selama itu perlindungan tersebut telah menjadi penghalang baginya untuk dapat meni’mati derita di jalan Allah dan kehormatan senasib sepenanggungan bersama saudaranya  Kaum Muslimin merupakan tunas-tunas dunia beriman dan generasi alam baru yang esok pagi akan ter­pancar cahaya ke seluruh penjuru, cahaya keimanan dan ke­tauhidan ….

Maka marilah kita dengar cerita dari saksi mata yang melukiskan bagi kita peristiwa yang telah terjadi, katanya:
“Ketika Utsman bin Mazh’un menyaksikan penderitaan yang dialami oleh para shahabat Rasulullah saw., sementara ia sendiri pulang pergi dengan aman dan tenteram disebabkan perlindungan Walid bin Mughirah, katanya: ‘Demi Allah, sesungguhnya mondar-mandirku dalam keadaan aman di­sebabkan perlindungan seorang tokoh golongan musyrik, sedang teman-teman sejawat dan kawan-kawan seagama menderita adzab dan siksa yang tidak kualami, merupakan suatu kerugian besar bagiku …. !

Lalu ia pergi mendapatkan Walid bin Mughirah, katanya: ‘Wahai Abu Abdi Syams, cukuplah sudah perlindungan anda, dan sekarang ini saya melepaskan diri dari perlindungan anda. . .
“ kenapa wahai keponakanku  . . . ?” ujar Walid , mungkin ada salah seorang anak buahku  mengganggu mu . . . ?”
“Tidak’, ujar Utsman, ‘hanya saya ingin berlindung kepada Allah, dan tak suka lagi kepada lain-Nya … !’ Karenanya pergilah anda, ke mesjid serta umumkanlah maksudku ini secara terbuka seperti anda dahulu mengumumkan per­lindungan terhadap diriku!’

Lalu pergilah mereka berdua ke mesjid, maka kata Walid: ‘Utsman ini datang untuk mengembalikan kepadaku jaminan perlindungan terhadap dirinya”.
Ulas Utsman: “Betullah kiranya apa yang dikatakan itu . . ternyata ia seorang yang memegang teguh janjinya . “ hanya keinginan saya agar tidak lagi mencari perlindungan kecuali kepada Allah Ta’ala.

Setelah itu Utsman pun berlalulah, sedang di salah satu gedung pertemuan kaum Quraisy, Lubaid bin Rabi’ah menggubah sebuah sya’ir dan melagukannya di hadapan mereka, hingga Utsman jadi tertarik karenanya dan ikut duduk bersama mereka. Kata Lubaid:
“Ingatlah bahwa apa juga yang terdapat di bawah kolong ini selain daripada Allah adalah hampa!”
“Benar ucapan anda itu”, kata Utsman menanggapinya. Kata Lubaid lagi:
“Dan semua kesenangan, tak dapat tiada lenyap dan sirna!” “Itu dusta!”, kata Utsman, “karena kesenangan surga takkan lenyap . . .”.
Kata Lubaid: “Hai orang-orang Quraisy! Demi Allah, tak pernah aku sebagai teman duduk kalian disakiti orang selama ini. Bagai­mana sikap kalian kalau ini terjadi?”
Maka berkatalah salah seorang di antara mereka: “Si tolol ini telah meninggalkan agama kita . . . ! Jadi tak usah digubris apa ucapannya!”
Utsman membalas ucapannya itu hingga di antara mereka tejadi pertengkaran. Orang itu tiba-tiba bangkit mendekati Utsman lalu meninjunya hingga tepat mengenai matanya, sementara Walid bin Mughirah masih berada di dekat itu dan menyaksikan apa yang terjadi.
Maka katanya kepada Utsman: “Wahai ke­ponakanku, jika matamu kebal terhadap bahaya yang menimpa, maka sungguh, benteng perlindunganmu amat tangguh … !”
Ujar Utsman: “Tidak, bahkan mataku yang sehat ini amat membutuhkan pula pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah . . . ! Dan sungguh wahai Abu Abdi Syams, saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripadamu I”
“Ayohlah Utsman”, kata Walid pula, “jika kamu ingin, kem­balilah masuk ke dalam perlindunganku … !”
“Terima kasih . . .!” ujar Ibnu Mazh’un menolak tawaran itu.
Ibnu Mazh’un meninggalkan tempat itu, tempat terjadinya .peristiwa tersebut dengan mata yang pedih dan kesakitan, tetapi jiwanya yang besar memancarkan keteguhan hati dan kese­jahteraan serta penuh harapan

Di tengah jalan menuju rumahnya dengan gembira ia men­dendangkan pantun ini:
“Andaikata dalam mencapai ridla Ilahi
Mataku ditinju tangan jahil orang mulhidi
Maka Yang Maha Rahman telah menyediakan imbalannya
Karena siapa yang diridlai-Nya pasti berbahagia
Hai ummat, walau menurut katamu daku ini sesat
daku ‘kan tetap dalam Agama Rasul, Muhammad
Dan tujuanku tiada lain hanyalah Allah dan Agama yang haq
Walaupun lawan berbuat aniaya dan semena-mena”.

Demikian Utsman bin Mazh’un memberikan contoh dan teladan utama yang memang layak dan sewajarnya.. . . . Dan demikianlah pula lembaran kehidupan ini menyaksikan suatu pribadi utama yang telah menyemarakkan wujud ini dengan harum semerbak disebabkan pendiriannya yang luar biasa dan kata-kata bersayapnya yang abadi dan mempesona:
“Demi Allah, sesungguhnya sebelah mataku yang sehat ini amat membutuhkan pukulan yang telah dialami saudara­nya di jalan Allah . . . ! Dan sungguh, saat ini saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripadamu … !”

Dan setelah dikembalikannya perlindungan kepada Walid, maka Utsman menemui siksaan dari orang-orang Quraisy. Tetapi dengan itu ia tidak merana, sebaliknya bahagia, sungguh-sungguh bahagia … !
Siksaan itu tak ubahnya bagai api yang menyebabkan keimanannya menjadi matang dan bertambah murni ….
Demikianlah, ia maju ke depan bersama saudara-saudara yang beriman, tidak gentar oleh ancaman, dan tidak mundur oleh bahaya … !

Utsman melakukan hijrah pula ke Madinah, hingga tidak diusik lagi oleh Abu Lahab, Umayah, ‘Utbah atau oleh gembong­-gembong lainnya yang telah sekian lama menyebabkan mereka tak dapat menidurkan mata di malam hari, dan bergerak bebas di siang hari.
la berangkat ke Madinah bersama rombongan shahabat­-shahabat utama yang dengan keteguhan dan ketabahan hati mereka telah lulus dalam ujian yang telah mencapai puncak kesulitan dan kesukarannya, dan dari pintu gerbang yang luas dari kota itu nanti mereka akan melanjutkan pengembaraan ke seluruh pelosok bumi, membawa dan mengibarkan panji­-panji Ilahi, serta menyampaikan berita gembira dengan kalimat­-kalimat dan ayat-ayat petunjuk-Nya ….

Dan di kota hijrah Madinah. al-Munawwarah itu tersingkap­lah kepribadian yang sebenarnya dari Utsman bin Mazh’un, tak ubah bagai batu permata yang telah diasah, dan ternyatalah kebesaran jiwanya yang istimewa. Kiranya ia seorang ahli ibadah, seorang zahid, yang mengkhususkan diri dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Ilahi . . . .
Dan ternyata bahwa ia adalah orang suci dan mulia lagi bijaksana, yang tidak mengurung diri untuk tidak menjauhi kehidupan duniawi, tetapi orang suci luar biasa yang mengisi kehidupannya dengan amal dan karya serta jihad dan berjuang di jalan Allah ….

Memang, ia adalah seorang rahib di larut malam, dan orang berkuda di waktu siang, bahkan ia adalah seorang rahib baik di waktu siang maupun di waktu malam, dan di samping itu sekaligus juga orang berkuda yang berjuang siang dan malam … !
Dan jika para shahabat Rasulullah saw. apalagi di kala itu, semua berjiwa zuhud dan gemar beribadat, tetapi Ibnu Mazh’un memiliki ciri-ciri khash . . . . Dalam zuhud dan ibadatnya ia amat . tekun dan mencapai puncak tertinggi, hingga corak kehidupannya, baik siang maupun malam dialihkannya menjadi shalat yang terus-menerus dan tasbih yang tiada henti-hentinya.

Rupanya ia setelah merasakan manisnya keasyikan beribadat itu, ia pun bermaksud hendak memutuskan hubungan dengan segala kesenangan dan kemewahan dunia.
Ia tak hendak memakai pakaian kecuali yang kasar, dan tak hendak makan makanan selain yang amat bersahaja.
Pada suatu hari ia masuk masjid, dengan pakaian usang yang telah sobek-sobek yang ditambalnya dengan kulit unta, semen­tara Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para shahabatnya. Hati Rasulullah pun bagaikan disayat melihat itu, begitu juga para shahabat, air mata mereka mengalir karenanya. Maka tanya Rasulullah saw. kepada mereka:
“Bagaimana pendapat kalian, bila kalian punya pakaian satu stel untuk pakaian pagi dan sore hari diganti denganstelan lainnya . . . kemudian disiapkan di depan kalian suatu perangkat wallah makanan sebagai ganti perangkat lainnya yang telah diangkat . .. serta kalian dapat me­nutupi rumah-rumah kediaman kalian sebagaimana Ka’bah bertutup … ?
“Kami ingin hal itu dapat terjadi, wahai Rasulullah ujar mereka, “hingga kita dapat mengalami hidup ma’mur dan bahagia … !”
Maka sabda Rasulullah saw. pula: “Sesungguhnya hal itu telah terjadi . .. ! Keadaan kalian sekarang ini lebih baik dari keadaan kalian waktu lalu …

Tetapi Ibnu Mazh’un yang turut mendengar percakapan itu bertambah tekun menjalani kehidupan yang bersahaja dan menghindari sejauh-jauhnya kesenangan dunia … !
Bahkan sampai-sampai kepada menggauli isterinya ia tak hendak dan menahan diri, seandainya hal itu tidak diketahui oleh Rasulullah saw. yang segera memanggil dan menyampaikan kepadanya:
“Sesungguhnya keluargamu itu mempunyai hak atas dirimu …. I 

Ibnu Mazh’un amat disayangi oleh Rasulullah saw………………. Dan tatkala ruhnya yang suci itu berkemas-kemas hendak berangkat, hingga dengan demikian ia merupakan orang muha­jirin pertama yang wafat di Madinah, dan yang mula-mula merintis jalan menuju surga, maka Rasulullah saw. berada di sisinya.

Rasulullah saw. membungkuk menciumi kening Ibnu Mazh’un serta membasahi kedua pipinya dengan air yang berderai dari kedua mata beliau yang diliputi santun dan duka cita hingga di saat kematiannya. Wajah Utsman tampak bersinar gilang­-gemilang ….
Dan bersabdalah Rasulullah saw. melepas shahabatnya yang tercinta itu:
“Semoga Allah memberimu rahmat, wahai Abu Saib. Kamu pergi meninggalkan dunia, tak satu keuntungan pun yang kamu peroleh daripadanya, serta tak satu kerugian pun yang dideritanya daripadamu.”
Dan sepeninggal shahabatnya, Rasulullah yang amat pe­nyantun itu tidak pernah melupakannya, selalu ingat dan memujinya …. Bahkan untuk melepas puteri beliau Rukayah, Yakni ketika nyawanya hendak melayang, adalah kata-kata berikut:

“Pergilah susul pendahulu kita yang pilihan. Utsman bin Mazh’un … I”
60 Sahabat Nabi: Utsman bin Mazh'un, Yang Pernah Mengabaikan Kesenangan Hidup Duniawi 60 Sahabat Nabi: Utsman bin Mazh'un, Yang Pernah Mengabaikan Kesenangan Hidup Duniawi Reviewed by Himam Miladi on April 30, 2014 Rating: 5

60 Sahabat Nabi: Abu 'Ubaidah Ibnul Jarrah, Orang Kepercayaan Ummat

April 29, 2014

Siapakah kiranya orang yang dipegang oleh Rasulullah saw. dengan tangan kanannya sambil bersabda mengenai pribadinya:
“Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang keper­cayaan, dan sesungguhnya kepercayaan ummat ini adalah Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah … !
Siapakah orang yang dikirim oleh Nabi ke medan tempur ‘Dzatus Salasil sebagai bantuan bagi Amar bin ‘Ash, dan diangkatnya sebagai panglima dari suatu pasukan yang di dalamnya ter­dapat Abu Bakar dan Umar … ?
Siapakah shahabat yang mula pertama disebut sebagai amirul mara atau panglima besar ini … ?
Dan siapakah orang yang tinggi perawakannya tetapi kurus tubuhnya, tipis jenggotnya, berwibawa wajahnya, dan ompong kena panah dua gigi mukanya … ?
Yah, siapakah kiranya orang kuat lagi terpercaya, sehingga umar bin Khatthab ketika hendak menghembuskan nafasnya yang terakhir pernah berkata mengenai pribadinya:
“Seandainya Abu ‘Ubadah ibnul Jarrah masih hidup, tentulah ia di antara orang-orang yang akan saya angkat sebagai penggantiku. Dan jika Tuhanku menanyakan hal itu tentulah akan saya jawab: ‘Saya angkat kepercayaan Allah dan ke­percayaan Rasul-Nya …. “.
Ia adalah Abu ‘Ubaidah, Amir bin Abdillah ibnul Jarrah.

Ia masuk Islam melalui Abu Bakar Shiddiq di awal mula kerasulan, yakni sebelum Rasulullah saw. mengambil rumah Arqam sebagai tempat da’wah. Ia ikut hijrah ke Habsyi pada kali yang kedua. Ia kembali pulang dengan tujuan agar dapat mendampingi Rasulullah saw. di perang Badar, perang Uhud dan pertempuran-pertempuran lainnya. Lalu sepeninggal Rasulullah, dilanjutkannya gaya hidupnya sebagai seorang kuat yang di­percaya mendampingi Abu Bakar dan ,kemudian Umar dalam pemerintahan masing-masing dengan mengesampingkan dunia kemewahan dalam menghadapi tanggung jawab keagamaan, baik dalam zuhud dan ketaqwaan, amanah dan keteguhan ….

Ketika Abu ‘Ubaidah bai’at atau sumpah setia kepada Rasul­ullah saw. akan membaktikan hidupnya di jalan Allah, ia me­nyadari sepenuhnya ma’na kata-kata yang tiga ini: berjuang di jalan Allah, dan telah memiliki persiapan sempurna untuk me­nyerahkan kepadanya apa juga yang diperlukan berupa darma bakti dan pengurbanan ….

Dan semenjak ia mengulurkan tangannya untuk bai’at kepada Rasulullah, ia tidak memperhatikan kepentingan pribadi dan masa depannya. Seluruh kehidupannya dihabiskan dalam mengemban amanat yang dititipkan Allah kepadanya dan di­baktikan pada jalan-Nya demi mencapai keridlaan-Nya. Tiada suatu pun yang dikejar untuk kepentingan dirinya pribadi, dan tiada satu keinginan atau kebencian pun yang dapat menyele­wengkannya dari jalan Allah itu ….

Maka tatkala Abu ‘Ubaidah telah menepati janji yang di­lakukan oleh para shahabat lainnya, dilihat pula oleh Rasulullah sikap jiwa dan tata cara kehidupannya yang menyebabkannya layak untuk menerima gelar mulia yang diserahkan serta di­hadiahkan Rasulullah kepadanya, dengan sabdanya:
“Orang kepercayaan ummat ini, Abu ‘Ubaidah ibnul darrah “.

Amanat atau kepercayaan yang dipenuhi oleh Abu ‘Ubaidah atas segala tanggung jawabnya, merupakan sifatnya yang paling menonjol ….
Umpamanya waktu perang Uhud, dari gerak gerik dan jalan pertempuran diketahuinya, bahwa tujuan utama dari orang­-orang musyrik itu bukanlah hendak merebut kemenangan, tetapi  untuk menghabisi riwayat Nabi Besar dan merenggut nyawanya. Ia berjanji kepada dirinya akan selalu dekat dengan Rasulullah di arena perjuangan itu.
Maka dengan pedangnya yang terpercaya seperti dirinya pula, ia maju ke muka, merambah dan mendesak tentara berhala ,yang hendak melampiaskan maksud jahat mereka untuk me­madamkan Nur Ilahi . . . . Dan setiap situasi medan dan suasana pertempuran memaksanya terpisah jauh dari Rasulullah saw., ia tetap bertempur tanpa melepaskan pandangan matanya dari kedudukan Rasulullah itu yang selalu diikutinya dengan hati ,cemas dan jiwa gelisah . . . .

Dan jika dilihatnya ada bahaya datang mengancam Nabi, maka ia bagai disentakkan dari tempat­nya lalu melompat menerkam musuh-musuh Allah dan meng­halau mereka ke belakang sebelum mereka sempat mencelakakannya … Suatu ketika pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, ia terpisah dari Nabi karena terkepung oleh tentara musuh...tetapi seperti biasa kedua matanya bagai mata elang mengintai keadaan sekitarnya.

Dan hampir saja ia gelap mata melihat sebuah anak panah meluncur dari tangan seorang musyrik lalu mengenai Nabi. Maka terlihatlah pedangnya yang sebilah itu berkelibatan tak ubah bagai seratus bilah pedang menghantam musuh yang mengepungnya hingga mencerai-beraikan mereka, lalu ia terbang melompat mendapatkan Rasulullah. Didapatinya darah beliau yang suci mengalir dari mukanya, dan dilihatnya Rasulullah al-Amin menghapus darah dengan tangan kanannya, sambil bersabda:
“Bagaimana mungkin berbahagia suatu kaum yang men­cemari wajah Nabi mereka, padahal ia menyerunya kepada Tuhan mereka … ?

Abu ‘Ubaidah melihat dua buah mata rantai baju besi pe­nutup kepala Rasulullah menancap di kedua belah pipinya . . . . Abu ‘Ubaidah tak dapat menahan hatinya lagi; ia segera meng­gigit salah satu mata rantai itu dengan gigi, manisnya lalu menariknya dengan kuat dari pipi Rasulullah hingga tercabut keluar, tetapi bersamaan dengan itu tercabutlah pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah, lalu ditariknya pula mata rantai yang kedua dan tercabut pulalah bersamanya gigi manis Abu ‘Ubaidah yang kedua.

Dan baiklah kita serahkan kepada Abu Bakar Shiddiq untuk menceritakan peristiwa itu dengan kata-katanya sebagai berikut:
“Di waktu perang Uhud dan Rasulullah saw. ditimpa anak panah hingga dua buah rantai ketopong masuk ke kedua belah pipinya bagian atas, saya segera berlari mendapatkan Rasulullah saw. Kiranya ada seorang yang datang bagaikan terbang dari jurusan Timur, maka kataku: Ya Allah moga­-moga itu merupakan pertolongan! Dan tatkala kami sampai kepada Rasulullah, kiranya orang itu adalah Abu ‘Ubaidah yang telah mendahuluiku ke sana, serta katanya: ‘Atas nama Allah, saya minta kepada anda wahai Abu Bakar, agar saya dibiarkan mencabutnya dari pipi Rasulullah saw. Saya pun membiarkannya, maka dengan gigi mukanya Abu ‘Ubaidah mencabut salah satu mata rantai baju besi penutup kepala beliau hingga ia terjatuh ke tanah, dan bersamaan dengan itu jatuhlah pula sebuah gigi manis Abu ‘Ubaidah. Kemudian ditariknya pula mata rantai yang kedua dengan giginya yang lain hingga sama tercabut, menyebabkan Abu ‘Ubaidah tampak di hadapan orang banyak bergigi ompong …. !”

Di saat-saat bertambah besar dan meluasnya tanggung jawab para shahabat, maka amanah dan kejujuran Abu ‘Ubaidah mengkatlah pula. Tatkala ia dikirim oleh Nabi saw. Dalam expedisi “Daun Khabath” memimpin lebih dari tiga ratus orang prajurit sedang perbekalan mereka tidak lebih dari sebakul kurma, sementara tugas sulit. dan jarak yang akan ditempuh jauh pula, Abu ‘Ubaidah menerima perintah itu dengan taat dan hati gembira.

Bersama anak buahnya pergilah ia ke tempat yang dituju, dan perbekalan setiap prajurit setiap harinya hanya segenggam kurma, dan setelah hampir habis maka bagian asing-masing hanyalah sebuah kurma untuk sehari. Dan tatkala habis sama sekali, mereka mulai mencari daun kayu yang disebut abath, lalu mereka tumbuk hingga halus seperti tepung dengan menggunakan alat senjata. Di samping daun-daun itu dijadikan makanan, dapat pula mereka gunakan sebagai wadah untuk minum. Itulah sebabnya ekspedisi ini disebut ekspedisi “Daun khabath”.

Mereka terus maju tanpa menghiraukan lapar dan dahaga, tak ada tujuan mereka kecuali menyelesaikan tugas mulia bersama panglima mereka yang kuat lagi terpercaya, yakni tugas yang dititahkan oleh Rasulullah saw. kepada mereka Rasulullah saw. amat sayang kepada Abu ‘Ubaidah sebagai orang kepercayaan ummat, dan beliau sangat terkesan kepada­ya. Tatkala datang perutusan Najran dari Yaman menyatakan keislaman mereka dan meminta kepada Nabi agar dikirim bersama mereka seorang guru untuk mengajarkan al-Quran dan Sunnah serta seluk-beluk Agama Islam, maka ujar beliau:
“Baiklah akan saya kirim bersama tuan-tuan seorang yang terpercaya, benar-benar terpercaya . . . , benar-benar terpercaya. . . , benar-benar terpercaya...."

Para shahabat mendengar pujian yang keluar dari mulut Rasulullah saw. ini, dan masing masing berharap agar pilihan jatuh kepada dirinya, hingga beruntung beroleh pengakuan dan kesaksian yang tak dapat diragukan  lagi kebenarannya …
Umar bin Khatthab menceritakan peristiwa itu sebagai berikut:
“Aku tak pernah berangan-angan menjadi amir, tetapi ketika itu aku tertarik oleh ucapan beliau dan mengharapkan yang dimaksud beliau itu adalah aku.
Aku cepat-cepat berangkat untuk shalat dhuhur. Dan tatkala Rasulullah selesai mengimami kami shalat dhuhur beliau memberi salam, lalu menoleh ke sebelah kanan dan kiri. Maka saya pun mengulurkan badan agar kelihatan oleh beliau . . . . Tetapi ia masih juga melayangkan pan­dangannya mencari-cari, hingga akhirnya tampaldah Abu ‘Ubaidah, maka dipanggilnya lalu sabdanya: “Pergilah berangkat bersama mereka dan selesaikanlah apabila terjadi perselisihan di antara mereka dengan haq …
Maka Abu ‘Ubaidah pun berangkatlah bersama orang-orang itu…. ” .

Dengan peristiwa ini tentu saja tidak berarti bahwa Abu ‘Ubaidah merupakan satu-satunya yang mendapat kepercayaan dan tugas dari Rasulullah, sedang lainnya tidak. Maksudnya ialah bahwa ia adalah salah seorang yang beruntung beroleh kepercayaan yang berharga serta tugas mulia ini. Di samping itu ia adalah salah seorang atau mungkin juga satu-satunya orang pada masa itu yang berprofesi da’i serta usahanya mengidzinkan untuk meninggalkan Madinah dan pergi melakukan tugas yang cocok dengan bakat dan kemampuannya ….

Dan sebagaimana di masa Rasulullah saw. Abu Ubaidah menjadi seorang kepercayaan, demikian pula setelah Rasulullah wafat, ia tetap sebagai orang kepercayaan, memikul semua tanggung jawab dengan sifat amanah. Wajarlah apabila ia menjadi suri teladan bagi seluruh ummat manusia.
Dan di bawah panji-panji Islam ke mana pun ia pergi ia adalah sebagai prajurit, yang dengan keutamaan dan keberaniannya melebihi seorang amir atau panglima . . . , dan di saat ia sebagai panglima, karena keikhlasan dan kerendahan hati me­nyebabkannya tidak lebih dari seorang prajurit biasa ….

Kemudian tatkala Khalid bin Walid sedang memimpin ten­tara Islam dalam salah satu pertempuran terbesar yang menentu­kan, dan tiba-tiba Amirul Mu’minin Umar mema’lumkan titahnya untuk mengangkat Abu ‘Ubaidah sebagai pengganti Khalid, maka demi diterimanya berita itu, dari utusan Khalifah, diminta­nya orang itu untuk merahasiakan berita tersebut kepada umum. Sementara Abu ‘Ubaidah sendiri mendiamkannya dengan suatu niat dan tujuan baik sebagai lazimnya dimiliki oleh seorang zuhud, ‘arif bijaksana lagi dipercaya . . . , menunggu selesainya panglima Khalid itu merebut kemenangan besar ….
Dan setelah tercapai barulah ia mendapatkan Khalid dengan hormat dan ta’dhimnya untuk menyerahkan Surat dari Amirul Wminin. Ketika Khalid bertanya kepadanya: “Semoga Allah memberi anda rahmat, wahai Abu  ‘Ubaidah! Apa sebabnya anda tidak menyampaikannya kepadaku di waktu datangnya  …. ?”
Maka ujar kepercayaan ummat itu: “Saya tidak ingin mematahkan ujung tombak anda, dan bukan kekuasaan dunia yang kita tuju, dan bukan pula untuk dunia kita beramal! Kita semua bersaudara karena Allah ……………………

Demikianlah Abu ‘Ubaidah telah menjadi panglima besar tentara Islam, baik dalam luasnya wilayah, maupun dalam perbekalan dan jumlah bilangan Tetapi bila anda melihat­nya, maka sangka anda bahwa ia adalah salah seorang prajurit biasa serta pribadi biasa dari Kaum Muslimin!
Ketika sampai kepadanya perbincangan orang-orang Syria tentang dirinya dan keta’juban mereka terhadap sebutan panglima besar, dikumpulkannyalah mereka lalu ia berdiri berpidato.
Nah, cobalah anda sekalian perhatikan apa yang diucapkan­nya kepada orang-orang yang terpesona dengan kekuatan, ke­besaran dan sifat amanahnya:
“Hai ummat manusiaI
Sesungguhnya saya ini adalah seorang Muslim dari suku Quraisy ….
Dan siapa saja di antara kalian, baik ia berkulit merah atau hitam yang lebih taqwa’) daripadaku, hatiku ingin sekali berada dalam bimbingannya … !”

Semoga Allah melanjutkan kebahagiaanmu, wahai Abu ‘Ubaidah . . . . Dan mengekalkan Agama yang telah mendidikmu, serta Rasulullah yang telah mengajarimu ….
Seorang Muslim dari suku Quraisy, tidak kurang tidak lebih ucapanmu itu ….
Agama: Islam ….
Suku: Quraisy ….
Hanya inilah keinginannya, tidak lain ….

Adapun kedudukannya sebagai panglima besar, dan pemim­pin tentara Islam yang paling banyak jumlahnya dan paling menonjol keperwiraannya serta paling besar kemenangannya …. Begitu pun sebagai wali negeri di wilayah Syria yang semua kehendaknya berlaku dan perintahnya ditaati ….
Maka semua itu dan lainnya yang serupa, tidak menggoyahkan ketaqwaannya sedikit pun, dan tidak dijadikan andalan …!                                                                                 
Amirul Mu’minin Umar bin Khatthab datang berkunjung ke Syria, kepada para penyambutnya ditanyakannya:
“Mana saudara saya …… ?”
“Siapa . . . ,” ujar mereka
“Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah”, katanya pula.
Kemudian datanglah Abu ‘Ubaidah yang segera dipeluk oleh Amirul Mu’minin . . . . lalu mereka pergi bersama-sama ke rumahnya. Maka tidak satu pun perabot rumah tangga ter­dapat di rumah itu, kecuali pedang, tameng serta pelana ken­daraan,nya ….

Sambil tersenyum Umar bertanya kepadanya: “Kenapa tidak kau ambil untuk dirimu sebagaimana dilakukan oleh orang lain… !’ Maka jawab Abu ‘Ubaidah: “Wahai Amirul Mu’­minin, ini telah menyebabkan hatiku lega dan sempat ber­istirahat …. ! “

Pada suatu hari di Madinah, tatkala Amirul Mu’minin Umar al-Faruq sibuk menangani urusan dunia Islam yang luas, di­sampaikan orang berita berkabung meninggalnya Abu ‘Ubaidah….
Maka terpejamlah kedua pelupuk matanya yang telah di­genangi air. Dan air itu pun meleleh, hingga Amirul Mu’minin membuka matanya dengan tawakkal menyerahkan diri. Di­mohonkannya rahmat bagi shahabatnya itu, dan bangkitlah kenangan-kenangan lamanya bersama almarhum r.a. yang ditampungnya dengan hati yang shabar diliputi duka. Kemudian diulangi kembali ucapan berkenaan shahabatnya itu, katanya:
“Seandainya aku bercita-cita, maka tak adalah harapanku selain sebuah rumah yang penuh didiami oleh tokoh-tokoh seperti Abu ‘Ubaidah ini  ….!”

Orang kepercayaan dari ummat ini wafat di atas bumi yang telah disucikannya dari keberhalaan Persi dan penindasan Romawi. Dan di sana sekarang ini, yaitu dalam pangkuan tanah Yordania bermukim tulang kerangka yang mulia, yang dulunya tempat bersemayam jiwa yang tenteram dan ruh pilihan ….
Dan walaupun makamnya sekarang ini dikenal orang atau tidak, sama saja halnya bagi dia atau bagi anda, karena seandai­nya anda bermaksud hendak mencapainya, anda tidak memerlu­kan petunjuk jalan, karena jasa-jasanya yang tidak terkira akan menuntun anda ke tempatnya itu ..


60 Sahabat Nabi: Abu 'Ubaidah Ibnul Jarrah, Orang Kepercayaan Ummat 60 Sahabat Nabi: Abu 'Ubaidah Ibnul Jarrah, Orang Kepercayaan Ummat Reviewed by Himam Miladi on April 29, 2014 Rating: 5

60 Sahabat Nabi: Khabbab bin Arats, Guru Besar Dalam Berqurban

April 27, 2014

Serombongan orang Quraisy mempercepat langkah mereka menuju rumah Khabbab, dengan maksud hendak mengambil pedang-pedang pesanan mereka. Memang, Khabbab seorang pandai besi yang ahli membuat alat-alat senjata terutama pedang, yang dijualnya kepada penduduk Mekah dan dikirimnya ke pasar-pasar.
Berbeda dengan biasa, Khabbab yang hampir tidak pernah meninggalkan rumah dan pekerjaannya, ketika itu tidak dijumpai oleh rombongan Quraisy tadi di rumahnya. Mereka pun duduklah menunggu kedatangannya.

Beberapa lama antaranya, datanglah Khabbab, sedang pada wajahnya terlukis tanda tanya yang bercahaya dan pada kedua matanya tergenang air alamat sukacita . . . , maka diucapkannya salam kepada teman-temannya itu lalu duduk di dekat mereka.
Mereka segera menanyakan kepada Khabbab:
“Sudah selesai­kah pedang-pedang kami itu, hai Khabbab?”

Sementara itu air mata Khabbab sudah kering, dan pada kedua matanya tampak sinar kegembiraan, dan seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri, katanya: “Sungguh, keadaannya amat mena’jubkan!”
Orang-orang itu kembali sertanya kepadanya:”Hai Khabbab, keadaan mana yang kamu maksudkan? Yang kami tanyakan kepadamu adalah soal pedang kami, apakah sudah selesai kamu buat? 
”Dengan pandangannya yang menerawang seolah‑olah mimpi, Khabbab lalu bertanya: “Apakah tuan-tuan sudah melihatnya … ? Dan apakah tuan-tuan sudah pernah mendengar ucapannya … !’
Mereka saling pandang diliputi tanda tanya dan keheranan.
Dan salah seorang di antara mereka kembali sertanya, kali ini dengan suatu muslihat, katanya: “Dan kamu, apakah kamu sudah melihatnya, hai Khabbab … ?”

Khabbab menganggap remeh siasat lawan itu, maka ia berbalik sertanya: “Siapa maksudmu … ?”
“Yang saya tuju ialah orang yang kamu katakan itu!” ujar orang tadi dengan marah.
Maka Khabbab memberikan jawabannya setelah memper­lihatkan kepada mereka bahwa ia tak dapat dipancing-pancing. Jika ia mengakui keimanannya sekarang ini di hadapan mereka, bukanlah karena hasil muslihat dan termakan umpan mereka, tetapi karena ia telah meyakini kebenaran itu serta menganutnya, dan telah mengambil putusan untuk menyatakannya secara terus terang . . . . Maka dalam keadaan masih terharu dan terpesona, serta kegembiraan jiwa dan kepuasannya, disampaikanlah jawab­an, katanya:
“Benar… , saya telah melihat dan mendengarnya …
Saya saksikan kebenaran terpancar daripadanya, dan cahaya bersinar-sinar dari tutur katanya…!
Sekarang orang-orang Quraisy pemesan senjata itu mulai mengerti, dan salah seorang di antara mereka berseru: “Siapa dia orang yang kau katakan itu, hai budak Ummi Anmar . . . !’

Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab menyahut:
“Siapa lagi, hai Arab shahabatku Siapa lagi di antara kaum anda yang daripadanya terpancar kebenaran, dan dari tutur katanya bersinar-sinar cahaya selain ia. se­orang … ?”
Seorang lainnya yang bangkit terkejut mendengar itu berseru pula: “Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad . . .”. Khabbab menganggukkan kepalanya yang dipenuhi kebanggaan serta katanya:
“Memang, ia adalah utusan Allah kepada kita, untuk mem­bebaskan kita dari kegelapan menuju terang benderang.

Dan setelah itu Khabbab tidak ingat lagi apa yang diucapkannya,begitupun apa yang diucapkan orang kepadanya . . . . Yang diingatnya hanyalah bahwa setelah beberapa saat lamanya ia sadarkan diri dan mendapati tamu-tamunya telah bubar dan tak ada lagi, sedang tubuh bengkak-bengkak dan tulang-tulangnya terasa sakit, dan darahnya yang mengalir melumuri pakaian dan tubuhnya.

Kedua matanya memandang berkeliling dengan tajam …. kiranya tempat itu amat sempit untuk dapat melayani pandangan tembusnya. Maka dengan menahan rasa sakit, ia bangkit menuju tempat yang lapang, dan di muka pintu rumahnya ia berdiri sambil bersandar pada dinding, sedang kedua matanya yang mulia berkelana panjang menatap ufuk lalu berputar ke arah kanan kiri ….
Dan tiadalah ia berhenti sampai jarak yang biasa dikenal oleh manusia, tetapi ia ingin hendak menembus jarak jauh yang tidak terjangkau ….
Memang . . . , kedua matanya itu ingin menyelidiki kejauhan yang tidak terjangkau dalam kehidupannya, begitu pun dalam kehidupan orang-orang di kota Mekah, orang-orang di setiap tempat serta pada segala masa umumnya ….
Wahai, mungkinkah pembicaraan yang didengarnya dari Muhammad saw. pada hari itu, merupakan cahaya yang dapat menerangi jalan menuju kejauhan ghaib dalam kehidupan seluruh ummat manusia?

Demikianlah Khabbab tenggelam dalam renungan tinggi dan pemikiran mendalam, dan setelah itu ia kembali masuk rumahnya untuk membalut luka tubuhnya dan mempersiapkannya untuk menerima siksaan dan penderitaan baru . . . . ! Dan mulai saat itu Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang tersiksa dan teraniaya . .. ! Didapatkannya kedudukan itu di antara, orang-orang yang walau pun mereka miskin dan tak berdaya, tetapi berani tegak menghadapi ke‑ sombongan Quraisy, kesewenangan dan kegilaan mereka . . . ! Diperolehnya kedudukan yang mulia itu di antara orang-orang yang telah memancangkan dalam jiwanya tiang bendera yang mulai berkibar di ufuk luas sebagai pernyataan tenggelamnya masa pemujaan berhala dan kekaisaran. la berdampingan dengan orang yang menyampaikan berita gembira munculnya kejayaan Agama Allah, yakni Tuhan satu-satunya yang berhak diibadahi dan segala peraturannya dengan ikhlas ditaati, Serta menyampai­kan tibanya saat jaya bagi orang tertindas yang tidak berdaya. Ia akan duduk sama rendah berdiri sama tinggi di bawah bendera tersebut dengan orang-orang yang tadinya telah memeras dan menganiayanya ….

Dan dengan keberanian luar biasa, Khabbab memikul tang­gung jawab semua itu sebagai seorang perintis.
“Berkatalah Sya’bi:
Khabbab menunjukkan ketabahannya, hingga tak sedikit pun hatinya terpengaruh oleh tindakan biadab orang-orang kafir. Mereka menindihkan batu membara ke punggungnya, hingga terbakarlah dagingnya!”

Kafir Quraisy telah merubah semua besi yang terdapat di rumah Khabbab yang dijadikannya sebagai bahan baku untuk membuat pedang, menjadi belenggu dan rantai besi. Lalu mereka masukkan ke dalam api hingga menyala dan merah membara, kemudian mereka lilitkan ke tubuh, pada kedua tangan dan kedua kaki Khabbab . . . . Dan pernah pada suatu hari ia pergi bersama kawan-kawannya sependeritaan menemui Rasulullah saw. tetapi bukan karena kecewa dan kesal atas pengorbanan, hanyalah karena ingin dan mengharapkan keselamatan, kata mereka:
“Wahai Rasulullah, tidakkah anda hendak memintakan per­tolongan bagi kami … ?”
Yah, marilah kita dengarkan Khabbab menceritakan langsung kepada kita kisah itu dengan kata-katanya sendiri:
“Kami pergi mengadu kepada Rasulullah saw. yang ketika itu sedang tidur berbantalkan kain burdahnya di bawah naungan Ka’bah. Permohonan kami kepadanya: “Wahai Rasulullah, tidakkah anda hendak memohonhan kepada Allah pertolongan bagi kami . . . . ?” Rasulullah saw. pun duduk, mukanya jadi merah, lalu sabdanya: “Dulu se­belum kalian, ada seorang laki-laki yang disiksa, tubuhnya dikubur kecuali leher ke atas, lalu diambil sebuah gergaji untuk menggergaji kepalanya, tetapi siksaan demikian itu tidak sedikit pun dapat memalingkannya dari Agama­nya . . . ! Ada pula yang disikat antara daging dan tulang­-tulangnya dengan sikat besi, juga tidak dapat menggoyah­kan keimanannya …. Sungguh Allah akan menyempur­nakan hal tersebut, hingga setiap pengembara yang bepergi­an dari Shan’a ke Hadlramaut, tiada takut kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jalla, walaupun serigala ada di antara hewan gembalaannya, tetapi saudara-saudara terburu­-buru!”
Khabbab dengan kawan-kawannya mendengarkan kata-kata itu, bertambahlah keimanan dan keteguhan hati mereka, dan masing-masing mereka berikrar akan membuktikan kepada Allah dan Rasul-Nya hal yang diharapkan dari mereka, ialah ketabahan, keshabaran dan pengurbanan.

Demikianlah Khabbab menanggung penderitaan dengan shabar, tabah dan tawakkal. Orang-orang Quraisy terpaksa meminta bantuan Ummi Anmar, yakni bekas majikan Khabbab yang telah membebaskannya dari perbudakan. Wanita tersebut akhirnya turun tangan dan turut mengambil bagian dalam me­nyiksa dan menderanya.
Wanita itu mengambil besi panas yang menyala, lalu me­naruhnya di atas kepada dan ubun-ubun Khabbab, sementara Khabbab menggeliat kesakitan. Tetapi nafasnya ditahan hingga tidak keluar keluhan yang akan menyebabkan algojo-algojo tersebut merasa puas dan gembira … !
Pada suatu hari Rasulullah saw. lewat di hadapannya, sedang besi yang membara di atas kepalanya membakar dan meng­hanguskannya, hingga kalbu Rasulullah pun bagaikan terangkat karena pilu dan iba hati ….
Tetapi apa yang dapat diperbuat oleh Rasulullah saw. untuk menolong Khabbab waktu itu . . . ? Tidak ada . . . , kecuali meneguhkan hatinya dan mendu’akannya. Pada saat itu Rasulullah mengangkat kedua belah telapak tangannya ter­kembang ke arah langit, sabdanya memohon:
“Ya Allah, limpahkanlah pertolongan-Mu kepada Khab­bab!”

Dan kehendak Allah pun berlakulah, selang beberapa hari Ummi Anmar menerima hukuman qishas, seolah-olah hendak dijadikan peringatan oleh Yang Maha Kuasa baik bagi dirinya maupun bagi algojo-algojo lainnya. Ia diserang oleh semacam penyakit panas yang aneh dan mengerikan. menurut keterangan ahli sejarah ia melolong seperti anjing……………
Dan dinasihatkan orang mengenai dirinya bahwa satu-satunya jalan atau obat yang dapat menyembuhkannya ialah menyeterika kepalanya dengan besi menyala . . . ! Demikianlah kepalanya yang angkuh itu menjadi sasaran besi panas, yang disetrikakan orang kepadanya tiap pagi dan petang.

Jika orang-orang Quraisy hendak mematahkan keimanan dengan siksa maka orang-orang beriman mengatasi siksaan itu dengan pengurbanan. Dan Khabbab adalah salah seorang yang dipilih oleh taqdir untuk menjadi guru besar dalam ilmu tebusan dan pengurbanan …. Boleh dikata seluruh waktu dan masa hidupnya dibaktikannya untuk Agama yang panji-panjinya mulai berkibar ….

Di masa-masa da’wah pertama, Khabbab r.a. tidak merasa cukup dengan hanya ibadat dan shalat semata, tetapi ia juga memanfaatkan kemampuannya dalam mengajar. Didatanginya rumah sebagian temannya yang beriman dan menyembunyikan keislaman mereka karena takut kekejaman Quraisy, lalu dibaca­kannya kepada mereka ayat-ayat al-Quran dan diajarkannya.

Ia mencapai kemahiran dalam belajar al-Quran yang diturunkan ayat demi ayat dan surat demi surat. Abdullah bin Mas’ud meriwayatkan mengenai dirinya, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
 “Barangsiapa ingin membaca al-Quran tepat sebagaimana diturunkan, hendaklah ia meniru bacaan Ibnu Ummi‘ Abdin!, hingga Abdullah bin Mas’ud menganggap Khabbab bagai tempat bertanya mengenai soal-soal yang bersangkut paut dengan al-Quran, baik tentang hafalan maupun pelajaran­nya.

Khabbab adalah juga yang mengajarkan al-Quran kepada Fathimah binti Khatthab dan suaminya Sa’id bin Zaid ketika mereka dipergoki oleh Umar bin Khatthab yang datang dengan pedang di pinggang untuk membuat perhitungan dengan Agama islam dan Rasulullah saw. Tetapi demi dibacanya ayat-ayat Quran yang termaktub pada lembaran yang dipergunakan oleh Khabbab untuk mengajar, ia pun berseru dengan suaranya yang barkah: “Tunjukkan kepadaku di mana Muhammad!"

Dan ketika Khabbab mendengar ucapan Umar itu, ia pun segera keluar dari tempat persembunyiannya, serunya:
“Wahai Umar! Demi Allah, saya berharap kiranya ‘kamulah yang telah dipilih oleh Allah dalam memperkenankan per­mohonan Nabi-Nya saw. Karena kemarin saya dengar ia memohon:
“Ya Allah, kuatkanlah Agama Islam dengan salah seorang di antara dua lelaki yang lebih Engkau sukai: Abul Hakam bin Hisyam dan Umar bin Khatthab . . . ! “
Umar segera. menyahut: “Di mana saya dapat menemuinya orang ini, hai Khabbab?” “Di Shafa”, ujar Khabbab, “yaitu rumah Arqam bin Abil Arqam”. Maka pergilah Umar menda­patkan keuntungan yang tidak terkira, menemui awal nasibnya yang bahagia . . . . !

Khabbab ibnul Arats menyertai Rasulullah saw. dalam semua peperangan dan pertempurannya, dan selama hayatnya ia tetap membela keimanan dan keyakinannya ….

Dan ketika Baitulmal melimpah ruah dengan harta kekayaan di masa pemerintahan Umar dan Utsman radliyallahu ‘anhuma, maka Khabbab beroleh gaji besar, karena termasuk golongan Muhajirin yang mula pertama masuk Islam.
Penghasilannya yang cukup ini memungkinkannya untuk membangun sebuah rumah di Kufah, dan harta kekayaannya disimpan pada suatu tempat di rumah itu yang dikenal oleh para shahabat dan tamu-tamu yang memerlukannya, hingga bila di antara mereka ada sesuatu keperluan, ia dapat mengambil uang yang diperlukannya dari tempat itu ….

Walaupun demikian, Khabbab tak pernah tidur nyenyak dan tak pernah air matanya kering setiap teringat akan Rasul­ullah saw. dan para shahabatnya yang telah membaktikan hidup­nya kepada Allah. Mereka beruntung telah menemui-Nya sebelum pintu dunia dibukakan bagi Kaum Muslimin dan sebelum harta kekayaan diserahkan ke tangan mereka.

Dengarkanlah pembicaraannya dengan para pengunjung yang datang menjenguknya ketika ia r.a. dalam sakit yang mem­bawa ajalnya. Kata mereka kepadanya: “Senangkanlah hati anda wahai Abu Abdillah, karena anda akan dapat menjumpai teman-­teman sejawat anda !”
Maka ujarnya sambil menangis:
“Sungguh, saya tidak merasa kesal atau kecewa, tetapi tuan-tuan telah mengingatkan saya kepada para shahabat dan sanak saudara yang telah pergi mendahului kita dengan membawa semua amal bakti mereka, sebelum mereka men­dapatkan ganjaran di dunia sedikit pun juga . . . ! Sedang kita .. , kita masih tetap hidup dan beroleh kekayaan dunia, hingga tak ada tempat untuk menyimpannya lagi kecuali tanah.”

Kemudian ditunjuknya rumah sederhana yang telah dibangunnya itu, lalu ditunjuknya pula tempat untuk menaruh harta ke­kayaan, Serta katanya:
“Demi Allah, tak pernah saya menutupnya walau dengan sehelai benang, dan tak pernah saya halanginya terhadap yang meminta …!
Dan setelah itu ia menoleh kepada kain kafan yang telah disediakan orang untuknya. Maka ketika dilihatnya mewah dan berlebih-lebihan, katanya sambil mengalir air matanya:
“Lihatlah ini kain kafanku …!
Bukankah kain kafan Hamzah paman Rasulullah saw. ketika gugur sebagai salah seorang syuhadah hanyalah burdah ber­warna abu-abu, yang jika ditutupkan ke kepalanya terbukalah kedua ujung kakinya, sebaliknya bila ditutupkan ke ujung kakinya, terbukalah kepalanya   …!”
Khabbab berpulang pada tahun 37 Hijriah. Dengan demikian ahli membuat pedang di masa jahiliyah telah tiada lagi. Demikian halnya guru besar dalam pengabdian dan pengurbanan dalam Islam telah berpulang …. !
Laki-laki yang termasuk dalam jama’ah yang diturunkan Al ­Quran untuk membelanya, dan yang dilindungi sewaktu sebagi­an para bangsawan Quraisy menuntut agar Rasulullah saw. me­nyediakan untuk menerima mereka pada suatu hari tertentu, sedang bagi orang-orang miskin seperti Khabbab, Shuhaib dan Bilal suatu hari tertentu pula ….

Kiranya al-Quranul Karim merangkul laki-laki hamba Allah itu dengan penuh kemuliaan dan kehormatan, sementara ayat-­ayatnya berkumandang menyatakan kepada Rasul yang mulia seperti berikut:
Dan janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya sepanjang pagi dan petang, mereka itu meng­hamp keridlaan-Nya . – . ! Engkau sedikit pun tidak di­minta pertanggungjawaban – yang menjadi perhitungan bagi mereka. Begitu pun perhitungan bagimu tidak akan dimintakan tanggung jawab mereka sedikit pun. Apabila engkau mengusir mereka, pasti engkau termasuk orang­orang dhalim.

Demikianlah Kami uji sebagian mereka dengan sebagian lainnya, sehingga mereka berkata: Itukah orang-orang yang diberi karunia oleh Allah di antara kita … ? (Allah berfirman): Tidakkah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur … ?
Dan jika datang kepadamu orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami, ucapkanlah kepada mereka: Selamat bahagia bagi kalian, Tuhan kalian telah mewajib­kan diri-Nya rasa kasih sayang.
(Q.s.6 al-An’am: 52 — 54)

Demikianlah setelah turunnya ayat ini, maka Rasulullah saw. amat memuliakan mereka, dibentangkannya untuk mereka kainnya, dan dirangkulnya bahu mereka Serta sabdanya:
“Selamat datang bagi orang-orang yang diriku diberi washiat oleh Allah untuk memperhatikan mereka!”

Sungguh, salah seorang putera terbaik dari masa wahyu dan generasi pengurbanan telah wafat. Mungkin kata-kata terbaik yang kita ucapkan untuk melepas tokoh ini, ialah apa yang diucapkan oleh Imam Ali karamallahu wajhah ketika ia kembali dari perang Shiffin dan kebetulan pandangannya jatuh atas sebuah makam yang basah dan segar, maka tanyanya: “Makam siapa ini . . . ?” “Makam Khabbab”, ujar mereka. Maka lama sekali ia merenunginya dengan hati khusyu dan duka, lalu katanya:
“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Khabbab, Yang dengan ikhlas menganut Islam dengan penuh se­mangat ….
Mengikuti hijrah sernata-mata karena taat ….

Seluruh hidupnya dibaktikan dalam perjuangan membasmi ma’siat …. “
60 Sahabat Nabi: Khabbab bin Arats, Guru Besar Dalam Berqurban 60 Sahabat Nabi: Khabbab bin Arats, Guru Besar Dalam Berqurban Reviewed by Himam Miladi on April 27, 2014 Rating: 5
Powered by Blogger.