Dua Orang Tamak Yang Tidak Akan Pernah Kenyang

April 29, 2017
“Ada dua jenis orang yang tamak dan masing-masing tidak akan pernah kenyang. Pertama, orang
tamak untuk menuntut ilmu, dia tidak akan kenyang. Kedua, orang tamak memburu harta,
dia tidak akan kenyang.”
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibnu Abbas r.a di atas, ada dua karakter orang tamak yang tidak akan pernah puas terhadap apa yang dimilikinya dan senantiasa berusaha untuk menambahnya.
Namun, keduanya memiliki karakteristik yang berbeda menurut sisi pandang Islam.
Adalah terpuji jika ada seorang Muslim yang tamak terhadap ilmu. Muslim seperti
ini senantiasa menginginkan derajat keilmuan, akhlak, amal kebajikan, dan usahanya untuk
meraih kemuliaan, yang akan mengetuk hatinya untuk menapaki tangga kesempurnaan
sebagai seorang Muslim. Ia selalu memanfaatkan segala kesempatan untuk mengkaji
Islam dalam memecahkan problem kehidupan manusia dengan hikmah.

Sabda Rasulullah S.A.W , “Ilmu laksana hak milik seorang Mukmin yang hilang, di manapun ia menjumpainya,
di sana ia mengambilnya,” (HR Al Askari dari Anas r.a).
Sedangkan ketamakan terhadap harta hanyalah akan menghasilkan sifat buas, laksana
serigala yang terus mengejar dan memangsa buruannya walaupun harta itu bukan haknya.
Fitrah manusia memang sangat mencintai harta kekayaan dan berhasrat keras mendapatkannya sebanyak mungkin dengan segala cara dan usaha.
Firman Allah SWT: “Katakanlah (hai Muhammad), jika seandainya kalian menguasai semua perbendaharaan
rahmat Tuhan, niscaya perbendaharaan (kekayaan) itu kalian tahan (simpan) karena takut
menginfakkannya (mengeluarkannya). Manusia itu memang sangat kikir. (QS. Al Isra’: 100).
Rasulullah S.A.W bersabda, “Hamba Allah selalu mengatakan, ‘Hartaku, hartaku’,
padahal hanya dalam tiga soal saja yang menjadi miliknya yaitu apa yang dimakan sampai
habis, apa yang dipakai hingga rusak, dan apa yang diberikan kepada orang sebagai
kebajikan. Selain itu harus dianggap kekayaan hilang yang ditinggalkan untuk kepentingan
orang lain,” (HR Muslim).
Seorang Mukmin adalah orang yang meyakini bahwa rezeki telah ditentukan oleh Allah SWT. Dia juga yakin bahwa setiap manusia tidak akan menemui ajalnya sebelum semua rezeki yang telah ditetapkan oleh Allah dicukupkan kepadanya. Ia merasa cukup terhadap harta yang telah diperolehnya dan menyadari ada hak orang lain atas kelebihan harta yang dimilikinya. Ia infakkan sebagian hartanya di jalan Allah untuk membantu saudara-saudaranya yang dilanda kelaparan dan kekurangan. Demikianlah yang patut dilakukan seorang Muslim dan ia tidak lagi silau terhadap kekayaan orang lain yang dihimpun karena ketamakan.
Rasulullah bersabda, “Tidak ada iri hati kecuali dalam dua perkara, (yaitu) orang yang dikaruniai harta kekayaan dan dihabiskan untuk menegakkan kebenaran, dan orang yang dikaruniai hikmah kemudian ia melaksanakan dan mengajarkannya (kepada orang lain).”

https://cerpenislam.id/2017/04/29/dua-orang-tamak-yang-tidak-akan-pernah-kenyang/
Dua Orang Tamak Yang Tidak Akan Pernah Kenyang Dua Orang Tamak Yang Tidak Akan Pernah Kenyang Reviewed by Himam Miladi on April 29, 2017 Rating: 5

Biarkan Allah Yang Menghibur Kita

April 28, 2017
Pernahkah kita merasa diuji oleh Allah? Kita cenderung mengatakan kalau kita ditimpa kesusahan maka kita sedang mendapat cobaan dan ujian dari Allah. Jarang sekali kalau kita dapat rezeki dan kebahagiaan kita teringat bahwa itupun merupakan ujian dan cobaan dari Allah. Ada diantara kita yang tak sanggup menghadapi ujian itu dan boleh jadi ada pula diantara kita yang tegar menghadapinya. Untuk setiap musibah dan cobaan yang kita alami, biarkan Allah yang menghibur diri kita. Bagaimana sebenarnya hiburan dari Allah tersebut?

Al-Qur’an mengajarkan kita untuk berdo’a: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya… “(QS 2: 286)
Do’a tersebut lahir dari sebuah kepercayaan bahwa setiap derap kehidupan kita merupakan cobaan dari Allah. Kita tak mampu menghindar dari ujian dan cobaan tersebut, yang bisa kita pinta adalah agar cobaan tersebut sanggup kita jalani. Cobaan yang datang ke dalam hidup kita bisa berupa rasa takut, rasa lapar, kurang harta dan lainnya.

Bukankah karena alasan takut lapar saudara kita bersedia mulai dari membunuh hanya karena persoalan uang seratus rupiah sampai dengan berani memalsu kuitansi atau menerima komisi tak sah jutaan rupiah. Bukankah karena rasa takut akan kehilangan jabatan membuat sebagian saudara kita pergi ke “orang pintar” agar bertahan pada posisinya atau supaya malah meningkat ke “kursi” yg lebih empuk. Bukankah karena takut kehabisan harta kita jadi enggan mengeluarkan zakat dan sodaqoh.

Al-Qur’an melukiskan secara luar biasa cobaan-cobaan tersebut. Allah berfirman: “Dan Sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang – orang yang sabar.” (QS 2: 155)
Amat menarik bahwa Allah menyebut orang sabarlah yang akan mendapat berita gembira. Jadi bukan orang yang menang atau orang yang gagah… .tapi orang yang sabar! Biasanya kita akan cepat-cepat berdalih, “yah..sabar kan ada batasnya… ” Atau lidah kita berseru, “sabar sih sabar… saya sih kuat tidak makan  enak, tapi anak dan isteri saya?” Memang, manusia selalu dipenuhi dengan pembenaran-pembenaran yang ia ciptakan sendiri.


Kemudian Allah menjelaskan siapa yang dimaksud oleh Allah dengan orang sabar pada ayat di atas: “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”. (Qs 2: 156).
Ternyata, begitu mudahnya Allah melukiskan orang sabar itu. Bukankah kita sering mengucapkan kalimat “Inna lillahi… .” Orang sabar-kah kita? Nanti dulu! Andaikata kita mau merenung makna kalimat Innalillahi wa inna ilaihi raji’un maka kita akan tahu bahwa sulit sekali menjadi orang yang sabar.

Arti kalimat itu adalah : “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah kami kembali.” Kalimat ini ternyata bukan sekedar kalimat biasa. Kalimat ini mengandung pesan dan kesadaran tauhid yang tinggi. Setiap musibah, cobaan dan ujian itu tidaklah berarti apa-apa karena kita semua adalah milik Allah; kita berasal dari-Nya, dan baik suka maupun duka, diuji atau tidak, kita pasti akan kembali kepada-Nya. Ujian apapun itu datangnya dari Allah, dan hasil ujian itu akan kembali kepada Allah. Inilah orang yang sabar menurut Al-Qur’an!

Ikhlaskah kita bila mobil yang kita beli dengan susah payah hasil keringat sendiri tiba-tiba hilang. Relakah kita bila proyek yang sudah didepan mata, tiba-tiba tidak jadi diberikan kepada kita, dan diberikan kepada saingan kita. Berubah menjadi dengki-kah kita bila melihat tetangga kita sudah membeli teve baru, mobil baru atau malah pacar
baru. Bisakah kita mengucap pelan-pelan dengan penuh kesadaran, bahwa semuanya dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
Kita ini tercipta dari tanah dan akan kembali menjadi tanah… . Bila kita mampu mengingat dan menghayati makna kalimat tersebut, ditengah ujian dan cobaan yang menerpa kehidupan kita, maka Allah menjanjikan dalam
Al-Qur’an: “Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 2:157)
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
“Laa yukallifullahu nafsan illa wus aha”
Allah tidak akan memberi cobaan pada manusia kecuali mereka mampu menanggungnya. Untuk itu tak usah buru-buru meratapi kondisi kita yang miskin, sakit-sakitan, ditimpa bencana Seakan hanya kita yang mendapat cobaan yang berat dari Allah.
Innallaha maashobirin
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Biarkan Allah yang menghibur diri kita atas setiap ujian dan cobaan.

sumber: CerpenIslam.id
Biarkan Allah Yang Menghibur Kita Biarkan Allah Yang Menghibur Kita Reviewed by Himam Miladi on April 28, 2017 Rating: 5

☀ "Ayah, Apakah Umar Sudah Meninggal?" ☀

April 08, 2017
Ketika istriku membukakan pintu untukku, di waktu zhuhur siang ini, aku melihat dia menutup wajahnya. Aku bertanya: “Apa yang terjadi?”. “Si kecil.” Jawabnya pelan dan lirih. 

Aku segera menuju kamar anak-anak. Kudapati si kecil menyendiri di atas ranjang. Aku pun memeluknya dan kembali mengulang pertanyaan kepada istriku yang berdiri disamping tempat tidur. “Apa yang terjadi?” Istriku tidak menjawab. 

Aku lalu meletakkan tanganku di kening si kecil. Tak ada tanda-tanda dia sakit. “Apa yang terjadi?” Kembali aku bertanya kepada istri. Istriku hanya memberi isyarat untuk memintaku keluar sebentar. Ternyata dia tak mau menjawab pertanyaanku di hadapan si kecil. 

Aku lalu mengajak istriku menuju kamar kami. Sambil mengelus perlahan perutnya yang membuncit karena hamil anak keempat kami, mulailah dia bercerita apa yang terjadi pada si kecil. Pagi hari tadi, si kecil keluar bersama ibunya. Di jalan, mereka berdua bertemu dengan seorang pengemis wanita yang tengah meletakkan anak kecilnya di punggungnya. Wanitu itu sedang meminta-minta makanan kepada orang yang lewat agar anaknya bisa makan. . . Si kecil pun mendekat pada pengemis, kemudian berkata: "Ibu, jangan sedih ya. Umar bin Khatthab akan datang membawa makanan untuk ibu dan anak ibu.” 

Orang-orang sekitar yang lalulang tampak memperhatikan sikap dan perkataan si kecil. Supaya tidak menjadi perhatian lebih jauh, Istriku kemudian memberikan beberapa uang sedekah kepada pengemis wanita itu. . . 

Istri dan anakku lalu melanjutkan jalan kaki mereka, hingga kemudian mendapati seorang pemuda berotot menantang lelaki lemah dengan pukulan.
Sambil tangannya masih berpegangan pada tangan ibunya, si kecil tiba-tiba berteriak di hadapan orang-orang agar mereka mendatangkan Umar bin Khatthab untuk melerai kedzhaliman tersebut.

Istriku terheran-heran dengan apa yang terjadi karena orang-orang menoleh ke arah mereka berdua. Istriku memutuskan untuk segera kembali ke rumah. 
Menjelang tiba di rumah, kembali di jalan ada seorang pengemis dengan roman muka sedih dan meminta bantuan. Istriku pun memberinya sejumlah uang. Dekat pintu rumah, istri satpam komplek perumahan mendatangi istriku dan mengabarkan bahwa suaminya sedang terbaring di rumah sakit dan membutuhkan bantuan. Tiba-tiba saja si kecil berkata agak keras: “Apakah Umar bin Khatthab meninggal?” Sambil meminta maaf pada istri satpam dan berjanji akan membicarakan keperluannya nanti, istriku pun mengajak si kecil masuk rumah.

Istriku kemudian berusaha menghibur hati si kecil dengan menghidupkan televisi untuk menyetel film kartun kesayangannya. Namun, stasiun televisi yang biasa menayangkan kartun saat itu sedang menyiarkan berita, tentang pemblokiran tentara Yahudi pada Masjid al Aqsha. Tiba-tiba si kecil mendekati televisi dan memandang gambar para tentara bersenjata yang sedang memukul orang-orang yang shalat lalu menembak mereka dengan timah panas. 
Lalu ia berkata kepada ibunya: “Jadi Umar bin Khatthab telah meninggal?!!!!!!” Si kecil menangis sejadi-jadinya. . . “Umar bin Khatthab telah meninggal, Umar bin Khatthab telah meninggal, Umar bin Khatthab telah meninggal.” Dia berlari ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya itu. Ibunya terdiam.

***
Aku hanya bisa diam dan termenung mendengar cerita istriku tersebut. Istriku bertanya, mengapa si kecil seakan terobsesi pada sosok Umar bin Khattab? Sembari menghela nafas sejenak, aku pun bercerita pada istriku perihal sikap dan perilaku si kecil tersebut.

Suatu ketika, saat itu, aku begitu ingin tidur bersama ketiga anak-anakku: Asma, Aisyah, dan si kecil. Aku sering kabur dari kamarku menuju kamar mereka dan merebahkan badanku yang tinggi di ranjang mereka. Mereka begitu senang dengan sikapku ini. Terhadap apa yang aku lakukan ini, sebenarnya aku lebih bahagia dibanding mereka. Tentu saja, ketika di kamar mereka, mesti ada kisah yang kukisahkan untuk mereka. 

 Asma, usianya 9 tahun, biasanya memintaku untuk menceritakan kisah Yusuf ‘alaihissalam. Sedang Aisyah begitu senang jika dituturkan kisah Musa 'alaihissalam dan Fir’aun atau “seorang tokoh yang baik dan tokoh jahat”, istilah ini sering dipakai Aisyah untuk menyebut Musa dan Fir’aun. Adapun anakku yang paling kecil, ia selalu mendengar ksiah-kisah yang kututurkan baik tentang Yusuf 'alaihissalam atau Musa ‘alaihissalam. 

Suatu malam, aku bertanya kepada mereka: “Kisah Yusuf atau Musa?” Asma dan Aisyah menjawab dengan sosok yang mereka sukai. Sementara si kecil tiba-tiba ingin dikisahkan tentang Umar bin Khattab. Aku pun kagum dengan permintaannya yang asing ini karena aku tak pernah menyebut nama Umar dan mengisahkannya untuk si kecil. Bagaimana dia tahu? Aku pun memulai kisah Umar dengan ringkas.

Aku mengisahkan pada si kecil saat Umar keluar di malam hari untuk mempatroli keadaan rakyatnya. Umar mendengar suara tangisan anak kecil. Sang ibu meletakkan periuk air di atas tungku api. Sang ibu mengabarkan anak-anaknya itu bahwa makanan sebentar lagi akan segera matang, untuk menghilang lapar mereka malam itu. . . 

Lalu aku kisahkan pula pada si kecil bagaimana Umar menangis malam itu lalu Umar segera keluar. Dan beberapa saat kemudian kembali dengan membawa keranjang besar dan berat di punggungnya. Umar sendiri yang memasak untuk anak-anak itu. Umar tidak meninggalkan mereka kecuali setelah mereka kenyang dan tertidur. . . 

Si kecil tertidur bahagia dan senang setelah mendengar kisah Umar. . . Di malam berikutnya, aku terkaget dengan si kecil karena dia memberitahukan kami bahwa dia akan mengisahkan kami kisah Umar. “Kamu tahu kisahnya, nak?”, “Iya.” Jawabnya. 
Aku tak mampu mengungkapkan kekagumanku pada si kecil saat dia mengisahkan kisah tentang Umar. . . 

Lalu di malam setelahnya, aku mengisahkan si kecil tentang kisah kedua dari Umar. Aku ceritakan tentang anak kecil Ibnu al-Qithbiy yang dipukul ‘Amr bin al-‘Ash. Lalu Umar memberikan cambuk kepada Ibnu al-Qithbiy untuk membalas ‘Amr bin al-‘Ash. . . 
Pada malam berikutnya, aku menceritakan si kecil tentang ketakwaan, kekuatan dalam kebenaran, keadilan dan kelebihan lainnya yang dimiliki sahabat Umar bin Khatthab. Setiap malam berlalu, si kecil pasti menghafal dan mengisahkan kembali cerita tentang Umar dan ini hampir berlalu satu bulan. . . 

Hingga pada suatu malam, aku terkejut dengan pertanyaan si kecil: “Ayah, apakah Umar bin Khatthab meninggal?” . . 
Aku hampir menjawab pertanyaannya tetapi aku memilih terdiam beberapa saat. Terpahamilah olehku bahwa anakku ini terkagum-kagum dengan Umar.
Aku tahu bahwa dia akan sedih mendalam dan jiwanya akan terguncang jika Umar-nya telah meninggal. Dan aku memilih tak menjawab pertanyaannnya. . . Si kecil kembali bertanya di malam selanjutnya: “Ayah, apakah Umar meninggal?” dan kembali aku memilih diam dan menghindar.

Di malam-malam selanjutnya aku memilih berada di kamarku saja agar si kecil tidak bertanya dengan pertanyaan yang sama. . . 

 *****
Usai bercerita pada istriku, pintu kamar kami mendadak terbuka. Tampak si kecil ada di balik pintu, kemudian mendatangiku dengan langkah pelan dan penuh kesedihan. Aku memeluk dan mendekapnya lalu mengangkatnya sehingga matanya sejajar dengan mataku. 
Aku tersenyum dan berkata: “Nak, mengapa kamu bersedih dan bilang Umar bin Khattab meninggal? Padahal ibumu sedang hamil dan dua bulan lagi akan melahirkan Umar.” 
“Umar bin Khatthab?” Tanya si kecil sambil matanya menatap tajam wajahku
“Iya. Umar bin Khatthab.” Jawabku, sembari hatiku menjerit berdo'a "Ya Rabb, semoga anak yang akan Engkau amanahkan ini, sifat dan perilakunya bisa mendekati Umar bin Khattab, sungguhpun kami tahu tidak akan ada lagi manusia seperti Umar bin Khattab"
Si kecil pun mulai tersenyum dan merebahkan dirinya kembali dalam pelukanku sambil menyebut sebuah nama: “Umar bin Khatthab, Umar bin Khatthab.” 
Aah, air mataku pun mengalir dan aku mendoakan rahmat untuk sahabat Umar bin Khatthab.

Ananda, Umar bin Khatthab telah meninggal, namun umat Islam yang akan melahirkan Umar-Umar lainnya tak akan mati. . . 
Ananda, Umar bin Khatthab telah meninggal, namun al-Qur’an yang diamalkan Umar bin al-Khatthab akan selalu ada.
Ananda, Umar bin Khatthab telah meninggal, tetapi tak akan mati semangat, keberanian, dan azzam yang Umar wariskan kepada umat Islam. . . 


~ Diterjemahkan dari halaman Kunna Jibaalan oleh Yani Fahriansyah, dengan editan untuk penyesuaian cerita oleh saya sendiri ~
☀ "Ayah, Apakah Umar Sudah Meninggal?" ☀ ☀ "Ayah, Apakah Umar Sudah Meninggal?" ☀ Reviewed by Himam Miladi on April 08, 2017 Rating: 5
Powered by Blogger.