Tak Perlu Ragu Mengatakan "Jangan" Kepada Anak

November 12, 2014
Tidak semua pemikiran yang berasal dari barat harus selalu kita ikuti atau bahkan kita jadikan pedoman untuk membangun generasi kita di masa yang akan datang. Dalam kehidupan dunia barat penghargaan terhadap kebebasan hak dari setiap orang bahkan anak selalu dijunjung tinggi sebagai suatu dogma yang harus ditaati.

Salah satu dogma yang berkaitan dengan memberikan kebebasan pada anak adalah dengan munculnya istilah populer dalam psikologi barat yaitu Jangan katakan tidak pada anak. (Don’t say NO to Children). Setiap orang yang sedang mendidik haram hukumnya mengatakan kata “jangan” pada anak, ataupun peserta didik karena kata jangan akan membelenggu perkembangan sang Anak. Baik ia seorang Guru, Ibu, Ulama, Masyarakat Umum, dan mereka semua yang terlibat dalam proses pendidikan anak dihimbau untuk menerapkanya. Ajaran ini menganjurkan para pendidik untuk mengganti kata “Jangan” yang di stigma negatif menjadi kalimat–kalimat positif. Benarkah konsep ini akan meningkatkan pertumbuhan kreatifitas anak, atau justru akan membinasakan?

Menurut Malik Badri dalam bukunya, Dilemma of Muslim Psychologist. Para Psikolog Muslim termakan dogma dari Psikolog Barat yang menyatakan, “Orang tua selalu berada di pihak yang salah. Sebaliknya berkembang sikap atau pandangan yang menyatakan bahwa anak selalu benar.” Padahal menurut Malik Badri dogma inilah yang membuat anak menjadi tak bisa menghargai orangtuanya.
Sebagai orang tua muslim, kita harus berkaca kepada keruntuhan moral yang terjadi pada anak-anak Barat. Hilangnya Rasa Hormat anak terhadap orang tua diakibatkan melunaknya pemberian hukuman dari para orangtua.

Konsep Pendidikan “Don’t say NO to children,” sesungguhanya merupakan embrio dari pemikiran liberalisme. Setiap anak dididik berpikir dan bertindak sebebas mungkin sejak dini dengan dalih untuk tidak membunuh kreatifitas sang anak. Padahal jika kita mau mengkritisi, kreatif bukanlah identitas dari kebaikan. Penjahatpun mampu untuk berkreatifitas, Para Koruptor yang sangat licin untuk ditangkap oleh KPK adalah contoh nyata kreatifitas dari seorang penjahat.

Kebebasan tanpa larangan akan menghasilkan manusia-manusia kebingungan yang pada akhirnya akan berhujung pada sikap atheisme atau paling tidak iya akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Karena bagi orang yang bebas, peraturan adalah yang ia kehendaki. Layaknya para koruptor hari ini yang bebas memilih jalan mencari nafkah, kreatif dan lihai dalam mengakali birokrasi untuk korupsi.

Sebenarnya kesalahan yang kerap kali terjadi adalah pelarangan tanpa penjelasan yang terang dan jelas. Orang tua dan guru terkadang tidak mampu memberikan alasan pelarangan kepada sang anak.  Cara pandang yang memberikan kebebasan anak untuk memilih sesungguhnya adalah konsep menuju kebinasaan. Karena tidak semua pilihan yang dihadapi oleh anak itu adalah benar. Pasti ada pilihan-pilihan keliru yang dapat membinasakan dirinya. Sehingga setiap orang wajib menggunakan kata jangan untuk membatasi pilihan-pilihan keliru terhadap anak.

Sebelumnya, kalau kita mau teliti, mari kita tanyakan kepada mereka yang melarang kata ‘jangan’, apakah ini punya landasan dalam al-Qur’an dan hadits? Apakah semua ayat di dalam al-Qur’an tidak menggunakan kata “Laa (jangan)”?  Mereka pun mengatakan jangan terlalu sering mengatakan jangan. Sungguh mereka lupa bahwa lebih dari 500 kalimat dalam ayat Al-Qur’an menggunakan kata “jangan”.

Allahu akbar, banyak sekali! Mau dikemanakan ayat-ayat kebenaran ini? Apa mau dibuang? Kalau mereka mengatakan kata jangan bukan tindakan preventif (pencegahan), maka kita tanya, apakah Anda mengenal Luqman AL- Hakim? Kita Juga Bisa Mengambil contoh dari Luqman yang yang dikisahkan dalam Al-Qur’an. Luqman mengawali nasihatnya dengan pelarangan kemudian ditambahkan penjelasan mengapa Menyekutukan Allah itu dilarang. Tentunya cara ini jauh lebih utama karena kisah didalam Al Qur’an adalah kisah-kisah terbaik dalam sejarah hidup manusia.
Ketika Luqman menggunakan redaksi “ janganlah mempersekutukan Allah”, ketimbang “Sembahlah Allah” bertujuan untuk meniadakan peluang pengakuan Tuhan-tuhan lainya yang patut disembah. Karena jika kalimat yang digunakan “Sembahlah Allah” berarti tidak menutup kemungkinan ada Tuhan-tuhan lain yang dapat disembah, namun dengan memilih “janganlah mempersekutukan Allah” Luqman telah menutup pilihan-pilihan keliru bagi anaknya.

Mengapa Luqmanul Hakim tidak menganti “jangan” dengan “diam/hati-hati”? Karena ini bimbingan Alloh. Perkataan “jangan” itu mudah dicerna oleh anak, sebagaimana penuturan Luqman Hakim kepada anaknya. Dan perkataan jangan juga positif, tidak negatif. Ini semua bimbingan dari Alloh subhanahu wa ta’ala, bukan teori pendidikan Yahudi.

Adakah pribadi psikolog atau pakar parenting pencetus aneka teori ‘modern’ yang melebihi kemuliaan dan senioritas Luqman? Tidak ada. Luqman bukan nabi, tetapi namanya diabadikan oleh Allah dalam Kitab suci karena ketinggian ilmunya. Dan tidak satupun ada nama psikolog kita temukan dalam kitabullah itu.

Membuang kata “jangan” justru menjadikan anak hanya dimanja oleh pilihan yang serba benar. Ia tidak memukul teman bukan karena mengerti bahwa memukul itu terlarang dalam agama, tetapi karena lebih memilih berdamai. Ia tidak sombong bukan karena kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena menganggap rendah hati itu lebih aman baginya. Dan, kelak, ia tidak berzina bukan karena takut adzab Alloh, tetapi karena menganggap bahwa menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang tuanya.

Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko tidak punya “sense of syariah” dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli melihat kemaksiatan bertebaran, tidak perhatian lagi dengan amar ma’ruf nahi mungkar, tidak ada lagi minat untuk mendakwahi manusia yang dalam kondisi bersalah, karena dalam hatinya berkata “itu pilihan mereka, saya tidak demikian”. Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi “mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya”.
Jadi kenapa harus ragu untuk mengatakan, “Jangan” pada Anak/Murid-mu?


sumber: http://www.jasaperencanakeuangan.com/jangan-ragu-katakan-jangan-pada-anak/
Tak Perlu Ragu Mengatakan "Jangan" Kepada Anak Tak Perlu Ragu Mengatakan "Jangan" Kepada Anak Reviewed by Himam Miladi on November 12, 2014 Rating: 5

Demokrasi ala Umar Bin Khattab

November 10, 2014
Khalifah terbesar umat Islam, Umar Bin Khattab, memandang bahwa musyawarah merupakan akar dari demokrasi. Bagi Umar, bermusyawarah itu bukanlah hanya sekedar untuk menguatkan pendapat salah satu pihak saja, tetapi yang lebih penting adalah untuk mencari kebenaran.
"Janganlah tuan-tuan mengemukakan pendapat yang menurut persangkaan tuan-tuan sesuai dengan keinginan saya, tetapi kemukakaknlah buah pikiran menurut perkiraan tuan-tuan sesuai dengan kebenaran".

Bagi Amirul Mukminin, bermusyawarah itu adalah menyetujui suatu pendapat atau menentangnya, tak obahnya bagaikan sepasang sayap dari hukum yang baik, dan merupakan paru-paru dari setiap hukum yang benar. Karena pandangannya yang demikian, maka sewaktu ia menduduki jabatan khilafat dan didengarnya bisik-bisik tentang kekerasan dan ketegasannya, ia pun bersunyi diri dan merenungkan hal itu.

Seorang sahabat, yaitu Hudzaifah Ibnul Yaman masuk menemuinya, kiranya didapatinya Umar dalam keadaan murung dengan kedua matanya basah oleh airmata. Maka ditanakanlah oleh Hudzaifah:
"Ada apa wahai Amirul Mu'minin?
"Saya takut akan berbuat kesalahan", ujar Umar, "lalu tidak seorang pun di antara tuan-tuan yang menyanggahnya karena rasa segan kepada saya".
"Demi Allah, tidak....! ujar Hudzaifah, "sekiranya kami lihat anda keluar dari garis kebenaran, maka kami akan mengembalikan anda kepadanya!"

Mendengar itu, Umar pun bergembira dan merasa optimis, kemudian katanya:
"Segala puji bagi Allah yang telah memberi saya sahabat-sahabat yang bersedia meluruskan kesalahan saya jika ternyata saya melakukannya".

Penghargaan akan tantangan dan kecaman terhadap dirinya ini, dapat diperhatikan dari sikap Umar; dimana ia telah menjamin keamanan dan ketentraman bagi setiap penyampainya bahkan diberikan penghormatan terhadap mereka.

Pada suatu hari, ia naik ke atas mimbar, kemudian katanya:
"Apa yang akan tuan-tuan perbuat, seandainya saya memiringkan kepala saya ke dunia, seperti ini.....(maksudnya lebih merasa duniawi. red)".

Dari kumpulan kaum Muslimin itu, menyeruaklah seorang laki-laki sambil mengacungkan tangannya, yang bagaikan pedang terhunus seraya berkata:
"Kalau begitu, pedang kamilah yang akan berbicara".
"Kepada saya kah anda tujukan perkataan itu?" tanya Umar.
"Memang anda lah yang saya tuju dengan ucapan saya itu!"
"Semoga Allah memberi anda rahmat", jawab Umar dengan wajah berseri-seri karena gembiranya, kemudian katanya:
"Segala puji bagi Allah yang telah menyediakan di kalangan tuan-tuan orang yang akan membetulkan kesalahan saya".
Demokrasi ala Umar Bin Khattab Demokrasi ala Umar Bin Khattab Reviewed by Himam Miladi on November 10, 2014 Rating: 5
Powered by Blogger.