BerQurban lah Dengan Rasa Berat Hati!

September 12, 2016
Membaca judul diatas, tentu bikin bingung pembaca bukan? Mengapa berqurban harus dengan rasa berat hati? bukankah justru setiap amal ibadah yang kita lakukan harus ikhlas?

Sabar-sabar, jangan buruan esmosi dulu. Tapi beneran lho berqurban itu mindsetnya beda sama orang infak atau sedekah. Kalau infak atau sedekah itu tujuannya untuk membersihkan harta duniawi kita. Jelas beda dengan tujuan qurban.

Bedanya dimana?

Ingat nggak kita ini disyariatkan berqurban meneladani siapa? Yup, ibadah qurban saat ini adalah ibadah yang menapaktilasi apa yang dikerjakan Nabi Ibrahim alaihissalam, atas perintah Allah beliau diminta menyembelih Nabi Ismail. Pertanyaannya apakah Nabi Ibrahim saat menerima perintah Allah tersebut dengan ringan hati langsung menuruti? Tentu saja tidak! Nabi Ibrahim sangat berat untuk mengorbankan buah hati kesayangannya tersebut.

Bayangin coba, betapa tidak berat, sekian lama  puluhan tahun berdoa meminta dikaruniai anak,  baru dikabulkan Allah konon saat usia Ibrahim 100 tahun. Setelah punya anak... eh, disuruh ninggal di padang pasir.  Kebayang nggak perasaan saat itu. Pisah jauh, boleh ketemu lagi setelah anak bisa diajak bermain dan bekerja. Nah pas Nabi Ismail sudah gede, pertemuan menjadi sebuah euforia.. eh malah disuruh menyembelih.

Seandainya kita yang dapat perintah seperti itu, mungkin kita mutung kepada Allah. Kita protes seprotes-protesnya. Tapi tahu nggak, itu iblis gemes banget lihat Ibrahim-Ismail dan berusaha menggagalkan ketaatan anak dan bapak ini sebisa mungkin.

Kok ya ndelalah, Ismail juga anak yang sholeh dan taat, sehingga saat ayahnya menyampaikan kabar ini, dia oke saja.
Lah anak sekarang pintar-pintar, dibilang ayah mendapat perintah menyembelih kamu...bisa-bisa menjawab... kenapa ga abah aja yang udah tua-an.. hahaha. Mikir...

Begitulah... Kadang Allah itu menguji hamba yang paling dicintainya aja, berat kayak gitu.. lha apalagi kita. Makanya Allah bisa jadi gemes kalo ada hamba yang mendapat ujian terus berkata... Why me God.. why me?? Allah menjawab, why not? Apa istimewamu sampe berkata demikian... wong hamba hambaNya yang paling taatpun... ujiannya ugal-ugalan sadis begitu.

Berqurban beda dengan sedekah. Berqurban adalah tindakan yang kita (sebenarnya) berat untuk melakukannya. Jadi parameter berqurban adalah ada rasa berat hati, ‘rasa’ kehilangan yang melukai kita. Bila kita berqurban tapi merasa ikhlas banget... biasanya karena kurang besar. Sudah bagus sebenarnya, karena kita mau menyisihkan sebagaian rejeki kita pada orang lain serta mencoba taat pada perintah Allah, tapi bila kita ingin memperoleh derajat lebih tinggi dan makna qurban yang mendalam... cobalah untuk memberikan yang kita cintai (harta) sampai pada batas kita berat melepaskannya (Berqurban).

Satu kambing merasa ringan... cobalah dua atau tiga. Masih merasa enteng, cobalah sapi. Punya mobil dan beberapa rumah... cobalah dua atau tiga sapi. Berapa saja...sampai pada batas anda ndredeg gemetaran (berat) dalam melepaskan harta anda.

Namun, bila satu kambing saja anda sudah merasa berat, gemeteran... maka selamat!

Karena melepaskan harta dunia dengan berat maka anda sudah masuk kategori berqurban dan memilih menaati perintah Allah saja daripada terus memeluk harta.  Sekali lagi SELAMAT! Anda sudah berhasil menyembelih ego dan rasa cinta anda pada harta.

Saya jadi ingat seorang ustadz pernah berpesan... banyak diantara kita takut mati, karena kita telalu sibuk mengumpulkan sesuatu yang tidak akan kita bawa “pulang” dan kita lupa mempersiapkan bekal semestinya yang seharusnya kita bawa saat kembali.

Kadang, untuk masuk sekolah atau universitas negeri favorit, jurusan tertentu yang diprediksi memberikan masa depan cerah atau masuk menjadi pegawai, kita rela berkorban puluhan bahkan ratusan juta dan  bisa jadi mendholimi orang lain yang mungkin lebih baik dan lebih berhak.
 
Mumpung masih ada tiga hari Tasyrik, belum terlambat untuk menyembelih saldo rekening anda untuk bekal di bawa “pulang”.


Sudah banyak yang mengingatkan untuk puasa arafah, sholat sunnah, membaca tasbih dan semacamnya. Alhamdulillah, bagus,  namun masih jarang yang mengingatkan untuk menyembelih rekening... karena sepertinya ini yang paling kita cintai (nyentil diri sendiri kok).

Boleh tidak sepakat - Semoga Bermanfaat
Tidak meminta kritik dan saran, karena terlalu ngeri saya membayangkannya, kalo boleh malah mohon bimbingannya.

*copas dari grup Whatsapp


BerQurban lah Dengan Rasa Berat Hati! BerQurban lah Dengan Rasa Berat Hati! Reviewed by Himam Miladi on September 12, 2016 Rating: 5

Ketika Produk Haji Hanya Sebagai Label Dan Gengsi Sosial

September 10, 2016
Banyak orang Arab Saudi yang heran dan bingung dengan kondisi Indonesia. Di satu sisi mereka setiap tahunnya melihat jutaan orang Indonesia berkunjung ke tanah suci baik untuk berhaji maupun umroh. Padahal baik haji maupun umroh hanya diwajibkan bagi yang mampu. Menurut orang Arab Saudi melihat fenomena membludaknya jamaah haji dan umroh, maka secara materi orang Indonesia adalah orang kaya. Maka menjadi pertanyaan dikalangan orang Arab, mengapa Indonesia justru banyak mengirimkan TKW dan TKI nya ke Arab Saudi. Pertanyaan yang sebenarnya gampang dijawab, namun tetap sulit dipahami oleh orang Arab Saudi.

Kebingungan orang Arab Saudi tentu juga menjadi kebingungan banyak pihak di Indonesia. Di tengah antrian panjang calon jamaah haji yang mencapai 5-15 tahun, justru terpampang dengan jelas kemiskinan dan kejahatan korupsi. Membludaknya Pak Haji dan Bu Haji serta calon Pak Haji dan Bu Haji yang jumlahnya mencapai jutaan orang ternyata tak berbanding lurus dengan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Lebih miris lagi ternyata membludaknya Pak Haji dan Bu Haji serta calon Pak Haji dan Bu Haji yang jumlahnya mencapai jutaan orang tersebut ternyata tak berbanding lurus dengan moralitas, kesalehan sosial dan masyarakat madani yang berkeadilan.


Justru berita yang kita dengar dan kita baca adalah tertangkapnya pejabat korup, hakim korup, jaksa korup, polisi korup, ustadz korup, anggota legislative korup dan koruptor-koruptor lainnya yang sebagian diantaranya adalah Pak Haji dan Bu Haji. Justru berita yang kita dengar dan kita baca adalah kemiskinan dan kemelaratan dimana-mana, anak kekurangan gizi, aksi biadab premanisme, saling bunuh sesama saudara, rebutan jabatan dan aksi-aksi kriminal lainnya. Lantas di mana keberadaan jutaan Pak Haji dan Bu Haji serta calon Pak Haji dan callon Bu Haji.


Melihat fenomena yang telah dengan terang benderang digambarkan di atas, maka menjadi pertanyaan kita semua mengapa ibadah haji tidak memberikan perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat. Jawabannya bisa jadi karena adanya perubahan paradigma di masyarakat bahwa berhaji hanya untuk memenuhi rukun Islam yang ke lima semata. Tidak lebih dan tidak kurang. Paradigma yang lebih mengutamakan meraih gelar haji daripada esensi dan implikasi produk dari berhaji. Selain itu adanya orang yang berhaji tanpa ilmu dan hanya modal nekad juga hanya melahirkan Pak Haji dan Bu Haji tanpa makna. Bisa jadi ada di antara mereka yang berhaji karena hanya ingin mendapatkan label Pak Haji dan Bu Haji untuk meingkatkan gengsi sosial di masyarakat. Dan bisa jadi ada pula yang berhaji hanya karena ingin menikmati wisata spiritual ke tanah suci semata.

Jika sudah demikian niat dan paradigma yang tertanam di kalangan Pak Haji dan Bu Haji, maka jangan pernah berharap Pak Haji dan Bu Haji akan menjadi lokomotif perubahan menuju masyarakat madani yang sejahtera dan berkeadilan. Karena ketika berhaji hanya dipahami sebagai prosesi ritual dan wisata spiritual semata maka yang lahir dari produk haji hanyalah label haji semata, bukan haji mabrur. Sebab haji mabrur adalah haji yang dapat membawa dampak perubahan spiritual dan sosial di masyarakat. Seorang haji mabrur akan terlihat dari peningkatan kualitas akhlak dan moralitasnya tidak hanya pada saat berhaji tapi juga ketika pulang setelah berhaji. Karenanya balasan setimpal bagi haji mabrur adalah surga.


*Tulisan ini adalah salin ulang dari artikel milik teman Ken Hirai di Kompasiana, dengan judul yang sama yang mana artikelnya sudah tidak ada lagi.
Ketika Produk Haji Hanya Sebagai Label Dan Gengsi Sosial Ketika Produk Haji Hanya Sebagai Label Dan Gengsi Sosial Reviewed by Himam Miladi on September 10, 2016 Rating: 5
Powered by Blogger.